Citra adalah suartu representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari suatu objek (sutoyo, 2009: 10). Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinya-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan.
1.1 Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor televisi, foto sinar X, foto yang tercetak dikertas foto, lukisan, pemandangan alam, hasil CT scan dan lain sebagainya. Citra analog tidak dapat dipresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses di komputer secara langsung. Oleh sebab itu, agar citra ini dapat diproses di komputer, proses konversi analog ke digital harus dilakukan terlebih dahulu. Citra analog dihasilkan dari alat-alat analog diantaranya adalah video kamera analog, kamera foto analog dan CT scan.
1.2 Citra Digital
Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Perhatikan gambar 2.1. Sebuah citra berukuran 165x220 piksel (piksel = elemen terkecil dari sebuah citra) diambil sebagian kecil dengan ukuran 22x23 piksel yaitu yang terlihat pada kotak kecil. Jadi sebagian kecil itu adalah contoh bahwa citra digital disimpan memori komputer dalam bentuk angka-angka yang menunjukkan besar intensitasnya pada masing-masing piksel tersebut.
Gambar 2.1 citra digital yang diambil dalam kotak itu disimpan dalam bentuk angka-angka dalam memori komputer
2. Akusisi citra
Akusisi citra adalah tahap awal untuk mendapatkan citra digital (sutoyo, 2009: 7). Tujuan akusisi citra adalah untuk menentukan data yang diperlukan dan memilih metode perekaman citra digital. Tahap ini dimulai dari objek yang akan diambil gambarnya, persiapan alat-alat, sampai pada pencintraan. Pencitraan adalah proses untuk mentranformasi citra analog menjadi citra digital. Beberapa alat yang dapat digunakan untuk pencitraan diantaranya adalah video kamera, kamera digital, scanner dan sinar infra merah. Hasil dari akusisi citra ini ditentukan oleh kemampuan sensor untuk mendigitalisasi sinyal yang terkumpul pada sensor tersebut. Kemampuan digitalisasi alat ditentukan oleh resolusi alat tersebut.
Gambar 2.2 pencintraan dengan scanner
2.1 Proses akusisi citra
Gambar 2.3. adalah contoh proses akusisi citra digital. Proses itu diawali dari sebuah objek yang diambil gambarnya untuk dijadikan citra digital. Sumber cahaya diperlukan untuk menerangi objek, yang berarti ada intensitas cahaya yang diterima oleh objek (sutoyo, 2009: 11). Oleh objek, intensitas cahaya ini sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan ke lingkungan sekitar objek radial. Sistem pencitraan menerima sebagian dari intensitas cahaya yang dipantul oleh objek tadi. Di dalam sistem pencitraan terdapat sensor optik yang digunakan untuk mendeteksi intensitas cahaya yang masuk ke dalam sistem. Keluaran dari sensor ini berupa arus yang besarnya sebanding dengan intensitas cahaya yang mengenainya. Arus tersebut kemudian dikonversi menjadi data digital yang kemudian dikirimkan ke unit penampil atau unit pengolah lainnya. Secara keseluruhan hasil keluaran sistem pencitraan berupa citra digital.
Gambar 2.3 contoh proses akusisi citra digital (a) obyek yang diambil gambarnya, (b) sumber cahaya, (c) sistem pencitraan, (d) bidang citra, (e) citra digital
3. Citra Warna (true color)
Perbandingan gradasi warna dengan jumlah bit dapat digambarkan seperti 2.4 dibawah ini (sutoyo, 2009: 22-23).
Gambar 2.4 perbandingan gradasi warna 1 bit, 2 bit, 5 bit, 6 bit, 7 bit dan 8 bit
Setiap piksel pada citra warna yang merupakan kombinasi tiga warna dasar (RGB= Red(merah) Green(hijau) Blue(biru)) sehingga citra warna disebut juga warna RGB. Setiap warna dasar menggunakan penyimpanan 8 bit = 1 byte, yang mempunyai kombinasi warna sebanyak
Penyimpanan citra true color di dalam memori berbeda dengan citra grayscale (citra grayscale akan dibahas di bawah sub bab setelah ini). Setiap piksel dari citra grayscale memiliki 256 gradasi warna yang diwakili oleh 1 byte. Sedangkan 1 piksel citra true color diwakili oleh 3 byte, dimana masing-masing byte mempresentasikan warna merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue).
4. Citra Grayscale
Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap piksel-nya, dengan kata lain nilai bagian merah = hijau = biru (putra, 2010: 40). Nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan dan putih. Tingkatan keabuan di sini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati putih.
5. Model Warna HSI (Hue, Saturation, Intensity)
Model HSI merupakan sistem warna yang paling mendekati cara kerja mata manusia (sutoyo, 2009: 160). HSI menggabungkan informasi, baik yang warna maupun grayscale dari sebuah citra. Sementara itu, model warna RGB tidak cocok untuk mendeskripsikan warna berdasarkan interpretasi manusia. Berasal dari kata Hue (H), Saturation (S), Intensity (I). Hue mendeskripsikan warna murni, hue adalah sudut dari
Namun pada rumus di atas, apabila
Dengan memanfaatkan nilai
6. Binerisasi
Sebelum membahas binerisasi, pertama-tama dibahas dulu mengenai citra biner. Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai piksel yaitu hitam dan putih (putra, 2010: 40). Pada pengolahan citra digital membutuhkan memori komputer yang jauh lebih besar dibanding pengolahan teks (sutoyo, 2009: 133). Untuk menghemat kebutuhan memori, citra warna diubah ke tingkat yang hanya mengandung informasi hitam dan putih pada piksel-piksel penyusunannya, yaitu dengan citra biner. Sehingga operasi dapat tetap dijalankan walaupun memori yang tersedia relatif kecil.
Untuk melakukan binerisasi dapat menggunakan teknik dithering. Secara definisi, dithering adalah teknik unruk mensimulasikan tampilan gradasi warna yang tinggi, padahal gradasi warna yang ditampilkan sebenarnya bukan dari gradasi warna citra tersebut (sutoyo, 2009: 145-146). Parameter yang akan diubah sebenarnya adalah besarnya titik dan kerapatan titik. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kualitas citra yang hampir sama dengan citra aslinya. Sebagai contoh, bila citranyaberwarna (ukuran file citra relatif besar), dithering melakukannya dengan cara mengurangi jumlah warna (ukuran file citra menjadi relatif kecil), dan menyusun kembali piksel-piksel tetangga yang gradasi warnanya rendah tadi menjadi pola-pola piksel yang mampu mensimulasikan gradasi warna tinggi. Dithering memiliki beberapa metode, diantaranya adalah Thresholding, patterning, random dither, ordered dither dan error diffusion. Dan disini yang dibahas hanyalah metode thresholding.
6.1 Metode Thresholding
Metode ini menggunakan nilai ambang (T) sebagai patokan untuk memutuskan sebuah piksel diubah menjadi hitam dan putih. Biasanya T dihitung dengan persamaan berikut.
Keterangan:
Jika
Sebagai contoh, misalkan diketahui citra 4x4 piksel seperti berikut.
200 | 230 | 150 | 200 |
240 | 40 | 170 | 90 |
210 | 60 | 200 | 30 |
46 | 80 | 120 | 230 |
Dari intensitas piksel pada
Setelah didapat nilai
255 | 255 | 255 | 255 |
255 | 0 | 255 | 0 |
255 | 0 | 255 | 0 |
0 | 0 | 0 | 255 |
7. Penskalaan